Selasa, 20 September 2011

Maksiat Kok Bangga ?


Penuh sesak, berdesak-desak. Nyaris tak ada tempat untuk lewat, pun bergerak. Namun dengan trampil, kernet bus zigzag di antara barisan penumpang. Tak satu pun penumpang yang lolos. Tak satu pun? Tampaknya tidak juga. Simak pembicaraan di sebelahku ini.
“Hehe, keneknya gak lihat, gue lolos, gak usah bayar ..”
Yang diajak bicara, yang tentu saja adalah teman dari yang berbicara, ikut-ikutan cengengesan. Mereka merasa hebat, bisa mengelabui kenek yang terkenal jeli dan teliti, menyaingi ketelitian akuntan. Hebat? Mungkin. Selama kita yakin tak ada Allah dan aparat malaikatNya yang sangat teliti, kita bisa berupaya terus mengelabui manusia lain.
Kejadian tadi berlangsung bertahun-tahun yang lalu. Waktu saya masih kuliah, dan sering kali terpaksa ikut berjejal di tengah angkutan massal, seperti bus kota, metromini, dan KRL. Bergabung bersama masyarakat kurang mampu lainnya.
Ada lagi kejadian yang mirip-mirip dengan kejadian tadi, dengan tahun yang lebih lama lagi. Waktu itu saya menjadi anggota Palang Merah Remaja, berseragam biru putih, dan mendapat tugas membagikan karcis dari Palang Merah Indonesia di pintu-pintu tol. Saya berdiri tak jauh dari tukang karcis tol, dan dengan penuh kebanggaan memberikan karcis – tepatnya menawarkan – kepada setiap pengemudi yang melewati pintu tol tersebut.
Sehelai karcis berharga 500 rupiah, kalau tidak salah ingat, dan satu pak karcis berisi seratus lembar. Tak jarang ada pengemudi yang memberikan lebih dari 500 rupiah untuk sehelai karcis. Walau ada juga yang malah memberikan ceramah, menasihati saya agar jangan mau diperalat. Tugas anak sekolah hanyalah belajar, jangan mau direpotkan membagi-bagikan karcis. Saya diam saja, berdiri terpaku dengan celana biru pendek di atas dengkul, mendengarkan ceramah gratis tersebut.
Saya yakin, satu pak karcis yang seharusnya bernilai lima puluh ribu rupiah itu ternyata riilnya memperoleh nilai lebih besar dari pada itu. Tapi tentu saja saya dan teman-teman serahkan seluruh dana yang ada kepada pengawas kami.
Beberapa hari kemudian, saat salah seorang teman mendengarkan cerita itu, saya malah diledek, “ah, payah, harusnya yang diserahkan sesuai nilai yang tertera di karcis. Sisanya kantongin ajaa ..!”
“Itu namanya nyolong!” kata saya.
“Lah, dari pada orang lain yang ngambil? Emang lu yakin itu uang diserahin semuanya sama pengawas?” serang teman saya. Penuh semangat, penuh kemenangan.
“Itu sih urusan dia ..”, jawab saya enteng.
Memang logikanya sepenuhnya logis. Bisa saja si pengawas yang justru mengambil kelebihan uang sumbangan. Tapi, pertama, kita tak boleh menuduh tanpa bukti, dan lebih penting lagi, itu urusan si pengawas. Dosanya dia yang tanggung. Kenapa harus iri dengan kesalahan orang lain?
Tapi, logika ‘dari pada diambil orang’ tampaknya cukup banyak penggemarnya. Beragam argumennya, sejuta alasannya. Bertahun-tahun kemudian, setelah bekerja dan berkesempatan berinteraksi dengan banyak orang, saya kembali bertemu dengan fenomena-fenomena yang mirip, dengan skala yang lebih besar.
Agar bisa menggolkan proyek ke instansi-instansi tertentu, tak jarang kita perlu menyiapkan ‘anggaran khusus’. Anggaran itu menabrak dalil tentang menerima dan memberi suap. Namun, tanpa itu, kecil kemungkinan bisa menang proyek. Artinya, besar kemungkinan proyek itu akan diambil alih orang lain. Jadi, dari pada diambil orang, kan lebih baik kita sendiri yang ambil. Demikian kira-kira argumennya. Kalau kita yang ambil, kan bisa digunakan untuk hal-hal kebaikan. Membangun masjid, kegiatan keagamaan, perjuangan da’wah. Begitu argumen penguatnya.
Hmm .. kalau begitu alasannya, apakah semua jenis bisnis jadi boleh diambil, dan segala macam aturan boleh diterabas, asalkan ‘dananya bisa untuk kemaslahatan’?
Saya sendiri masih memegang apa yang Rasulullah wasiatkan, bahwa jangan sampai ada harta haram yang masuk ke dalam perut anak dan istri kita. Nah, jika untuk kebutuhan keluarga yang ‘sempit’ saja kita harus berhati-hati, apalagi untuk kebutuhan lain yang lebih luas, seperti ‘perjuangan dawah’ dan hal-hal mulia lainnya?
Ah, jangan-jangan ini bagian dari permainan setan. Tipu dayanya, yang membuat kita pelan-pelan, terus menerus menemukan justifikasi setiap kali melakukan kesalahan. Sampai suatu ketika, boleh jadi, kita malah bangga ketika berbuat salah.
Seperti kata Ubay, salah seorang sahabat Rasul, saat diskusi santai dengan Umar, sahabat Rasul lainya, bahwa taqwa adalah kehati-hatian. Sebagai orang yang berusaha untuk selamat, lebih baik meneladani Rasulullah, dan para sahabat Rasul yang terpercaya.
Sumber : Eramuslim.com

Ditulis oleh Sabrul Jamil 15-09-11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ingat waktu ya ^_^

Hamster ku